Kamis, 01 September 2016

Sinopsis Novel "Hujan"

12301695-1053620601355174.jpg
Judul: Hujan
Penulis: Tere Liye
Penerbit: GPU, Januari 2016
Tebal: 320 halaman
ISBN 978-602-03-2478-4
****
Banyak kejadian-kejadian penting yang telah terjadi dalam kehidupan ini. Dengan berjuta rasa bahagia, haru, kecewa, dan semua rasa berpadu menyatu. Kejadian-kejadian itu tak ubahnya seperti musim-musim yang terus berganti bergiliran. Satu contoh adalah musim hujan. Saat tetesan air hujan berguguran ke bumi banyak kejadian yang telah terjadi. Seperti yang dialami oleh Lail, gadis berusia 21 tahun sang tokoh utama dalam novel ini.

Novel ini berkisah tentang Lail yang begitu menyukai hujan, dan telah banyak kejadian penting yang ia alami ketika hujan turun. Seperti saat ia diselamatkan oleh Esok, laki-laki yang berusia tiga tahun di atasnya. Ketika itu mereka masih beranjak remaja. Namun kejadian mengerikan telah mereka alami. Kejadian yang membuat Lail harus kehilangan kedua orang tuanya, dan Esok yang kehilangan keempat kakak lelakinya.

Novel ini dibuka dengan seorang paramedis senior yang tengah menangani gadis berusia 21 tahun yang duduk di sofa hijau di depannya. Gadis itu adalah pasiennya, bernama Lail. Gadis berusia 21 tahun ini ingin menghilangkan sesuatu dalam kehidupannya dan melupakannya. Sesuatu yang penting dalam hidupnya. Sesuatu yang menyimpan banyak kenangan yang seharusnya ia kenang. Sesuatu itu bernama hujan.

Dalam novel ini pembaca menemukan banyak gambaran kehidupan, menurut perhitungan saya terjadi 24 tahun yang akan datang, di mana teknologi-teknologi canggih diciptakan dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah tablet setipis kertas HVS. Mobil terbang juga ada. Pokoknya, sesuatu yang baru terbayangkan, atau bahkan mungkin belum pernah terbayangkan dalam pikiran, sudah ada pada zaman mereka.
Namun, secanggih apa pun mesin, tidak akan bisa menggambarkan perasaan seseorang.

“Bagian terbaik dari jatuh cinta adalah perasaan itu sendiri. Kamu pernah merasakan rasa sukanya, sesuatu yang sulit dilukiskan kuas sang pelukis, sulit disulam menjadi puisi oleh pujangga, tidak bisa dijelaskan oleh mesin paling canggih sekalipun. Bagian terbaik dari jatuh cinta bukan tentang memiliki. Jadi, kenapa kamu sakit hati setelahnya? Kecewa? Marah? Cemburu? Jangan-jangan karena kamu tidak pernah paham betapa indahnya jatuh cinta.”

Novel ini menyajikan berbagai rasa di dalamnya bagi para pembacanya. Haru, bahagia, keromantisan, sedih, kelucuan yang membuat terpingkal, bahkan banyak inspirasi bertebaran di setiap ceritanya. Karena tidak usah diragukan lagi siapa penulisnya. Tere Liye. Penulis berjuta rasa, menurut saya.
Tokoh-tokoh lain di novel ini cukup banyak. Tapi yang begitu melekat di hati saya itu tokoh bernama Maryam. Sahabat sekaligus teman sekamar Lail dipanti sosial, tempat mereka tinggal, yang memiliki selera humor tinggi. Bahkan, di situasi apa pun dia masih sempat-sempatnya melucu. Seperti di mana bagian saya terharu membaca novel ini, tapi sekejap berubah tawa karena ulah Maryam.
“Apakah kamu bisa terbang?”

“Tentu saja, Nona. Semua mobil keluaran terbaru memiliki fitur itu.”

“Bagus. Aku ingin mobil ini terbang menuju hotel.” Maryam tertawa senang.

“Aku minta maaf, Nona. Protokol keselamatan penumpang melarang taksi untuk terbang. Kecuali dalam kondisi darurat. Misalnya, penumpang hendak melahirkan.”

“Anggap saja darurat! Ayo terbang sekarang.”

“Aku minta maaf, Nona. Aku tidak mendeteksi adanya kondisi darurat.”

“Ini darurat, Mobil! Lihat, aku memegang Lisensi Kelas A Sistem Transportasi. Aku bisa menyuruhmu terbang,” Maryam memaksa.

“Aku minta maaf, Nona. Apakah Nona hendak melahirkan?”

Itu adalah penggalan kelucuan Maryam dengan mobil taksi pintar yang membuatnya jengkel. Masih banyak kelucuan Maryam yang lebih lucu. Selain itu, Maryam adalah sosok penuh semangat dengan kutipan-kutipan bijaknya, yang terkadang dijadiknnya senjata untuk menggoda Lail.

“Kamu tahu, Lail, tidak ada kabar adalah kabar, yaitu kabar tidak ada kabar. Tidak ada kepastian juga adalah kepastian, yaitu kepastian tidak ada kepastian.”
Maryam ini sosok yang sering menghibur Lail dikala ia merindukan Esok. Tapi Maryam juga sering dibuat kerepotan karena Lail sering menghilang dan meninggalkannya, demi jalan-jalan dengan sepeda merah bersama Esok.


Lalu kenapa novel ini berjudul Hujan?
Selain karena banyak kejadian yang terjadi dalam kehidupan Lail yang bertepatan dengan hujan, juga karena novel ini menceritakan perubahan iklim dunia. Yang puncaknya terjadi musim panas ekstrem dengan suhu yang terus naik dengan signifikan. Tidak ada awan, dan tiada lagi hujan. Dan untuk mengatasinya, Esok alias Soke Bahtera, sang ilmuwan muda, ikut membantu dalam sebuah proyek rahasia untuk menciptakan sebuah benda yang gunanya untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan, yang membuatnya jarang bertemu dengan Lail, dan juga yang membuat mereka jarang mengunjungi lubang yang menjadi tempat awal pertemuan mereka.
Membaca novel ini seperti sedang membaca buku yang membahas tentang Global Warming. Menggambarkan betapa parahnya keadaan yang diakibatkan kerusakan dari manusia itu sendiri, dan berimbas kepada kehidupan mereka. Tapi tetap tidak membosankan, karena pembahasan tentang isu ini dikemas bersamaan dengan kisah Lail dan Esok yang membuat iri sekaligus terharu.
Novel ini begitu berkesan dengan tokoh-tokoh lain yang tak kalah penting. Jadi, bagi kalian yang ingin membaca sebuah novel yang bagus, dan novel yang menceritakan tentang persahabatan, cinta, perpisahan, hujan, dan tentang melupakan, novel ini saya rekomendasikan untuk kalian baca.
“Ada orang-orang yang kemungkinan sebaiknya cukup menetap dalam hati saja, tapi tidak bisa tinggal dalam hidup kita. Maka, biarlah begitu adanya, biar menetap di hati, diterima dengan lapang. Toh dunia ini selalu ada misteri yang tidak bisa dijelaskan. Menerimanya dengan baik justru membawa kedamaian.” (hal. 256)
“Ada banyak hal yang bisa saling dipahami oleh dua orang sahabat sejati tanpa harus berbicara apa pun.” (Hal. 271)
“Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.” (Hal. 308)
“Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal yang menyakitkan yang mereka alami.” (Hal. 317)


Sumber :  http://littlepaper.mywapblog.com/review-novel-hujan-tere-liye.xhtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar